Fenomena nikah
siri dikalangan masyarakat kita dewasa ini seakan menjadi permasalahan yang tak
ada ujungnya. Disatu sisi ada keinginan bahwa bahtera pernikahan yang dibangun pelaku nikah siri diupayakan pada tujuan menjaga kehormatan
diri serta terlepasnya mereka dari segala bentuk fitnah dan keterjebakan pada
perbuatan zina. Namun pada satu sisi mereka tidak mau direpotkan dengan
permasalahan administrasi kenegaraan yang pada gilirannya harus berbenturan
dengan permasalahan lainnya, terlebih jika hal itu dilakukan oleh mereka yang memutuskan
untuk mengambil langkah poligami (baca :
beristeri lebih dari satu). Kenyataan tersebut
mendorong beberapa kalangan untuk menjadikan nikah seakan menjadi solusi untuk dapat keluar dari permasalahan. Lantas, benarkah itu menurut hukum agama dan negara? Mengapa persoalan ini perlu dituntaskan? Apa dampakanya jika hal ini terus dipertahankan? Bagaimana pandangan para ‘alim terkait dengan fenomena tersebut? Tulisan sederhana ini diharapkan dapat menjadi ikhtiar dalam menarik benang merah dari sekian banyak permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat.
mendorong beberapa kalangan untuk menjadikan nikah seakan menjadi solusi untuk dapat keluar dari permasalahan. Lantas, benarkah itu menurut hukum agama dan negara? Mengapa persoalan ini perlu dituntaskan? Apa dampakanya jika hal ini terus dipertahankan? Bagaimana pandangan para ‘alim terkait dengan fenomena tersebut? Tulisan sederhana ini diharapkan dapat menjadi ikhtiar dalam menarik benang merah dari sekian banyak permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat.
Nikah
siri, antara hukum negara dan agama
Undang-undang
Republik Indonesia No 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara tersirat bunyi UU tersebut
memberikan gambaran yang riil bahwa aspek penting dari sebuah pernikahan pada
dasarnya ditujukan bagi terwujudnya kehidupan rumah tangga yang senantiasa
menjadi harapan dan cita cita semua pasangan, yakni terbangunnya keluarga yang
bahagia dan dapat mempertahankan keberlangsungan perkawinan tersebut dalam tata
aturan yang bersendikan kepada nilai-nilai ketuhanan berdasarkan kepada agama atau keyakinan yang diyakininya.
Pengertian tersebut sesungguhnya sejalan dengan apa yang dinyatakan Allah dalam
Al-Qur’an surat Ar-Ruum 21 , yakni hadirnya keluarga sakinah, mawaddah, wa
rahmah :
Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Dalam bahasa
Arab, kata sakinah di dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, merasa
dilindungi, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Penggunaan
nama sakinah itu diambil dari al Qur’an surat 30:21, litaskunu ilaiha, yang
artinya bahwa Allah SWT telah menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang
satu merasa tenteram terhadap yang lain.Jadi keluarga sakinah itu adalah
keluarga yang semua anggota keluarganya merasakan cinta kasih, keamanan,
ketentraman, perlindungan, bahagia, keberkahan, terhormat, dihargai, dipercaya
dan dirahmati oleh Allah SWT. Mawaddah adalah jenis cinta membara, yang
menggebu-gebu kasih sayang pada lawan jenisnya (bisa dikatakan mawaddah ini
adalah cinta yang didorong oleh kekuatan nafsu seseorang pada lawan jenisnya). Sedangkan Rahmah (dari Allah SWT) yang
berarti ampunan, anugerah, karunia, rahmat, belas kasih, rejeki. Jadi, Rahmah
adalah jenis cinta kasih sayang yang lembut, siap berkorban untuk menafkahi dan
melayani dan siap melindungi kepada yang dicintai. Rahmah lebih condong pada sifat
qolbiyah atau suasana batin yang terimplementasikan pada wujud kasih sayang,
seperti cinta tulus, kasih sayang, rasa memiliki, membantu, menghargai, rasa
rela berkorban, yang terpancar dari cahaya iman. Sifat rahmah ini akan muncul
manakala niatan pertama saat melangsungkan pernikahan adalah karena mengikuti
perintah Allah dan sunnah Rasulullah serta bertujuan hanya untuk mendapatkan
ridha Allah SWT.
Dalam peraturan UU No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan tertulis pada Bab I dasar perkawinan pasal 2 ayat 2: “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Makna
penting dari pencatatan ini tentu merujuk pada berbagai hal yang berhubungan
dengan administrasi ketatanegaraan yang mencatat populasi dari jumlah kelahiran
dan kematian dan kepentingan birokrasi yang lainnya. Kita
tahu, terlebih belakangan lalu ada beberapa kasus yang melibatkan
pejabat/birokrat negeri ini yang “mengimani” ajaran ini, dari karena tidak
sulit mengurusnya. Kendati demikian berberapa permasalahan terkait dengan
masalah nikah Siri masih dianggap awam bagi kebanyakan orang. Hal itu lebih
banyakj disebabkan rasa takut tidak terdaftar
di lembaga nikah, yakni Kantor urusan agama (KUA).Lalu apa arti dan makna Siri itu sendiri? Seperti apa pandangan agama
dan negara dalam hal ini? Sah atau tidak? Inilah bahan kajian penting yang perlu
kita carikan titik temunya.
Terkait dengan permasalahan nikah siri, maka
setidaknya ada tiga hal penting yang harus kita pahami :
1. Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan
memang sudah dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja nikah siri yang dikenal
pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri pada saat ini.
2. Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu
nikah yang sesuai dengan rukun-rukun nikah dan syaratnya menurut syari’at,
hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya nikah tersebut kepada
khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimah
al-’ursy.
3. Saat ini Nikah siri adalah nikah yang syarat dan
rukunnya telah terpenuhi, namun semua
pihak yang terlibat didalamnya sepakat untuk merahasiakannya..Dalam kontekstual
kehidupan masyarakat sekarang, sebagian mereka
memahami nikah Siri sebagai sebuah pernikahan yang tidak dicatat di
Kantor Urusan Agama (KUA) alias "nikah di bawah tangan". Keberadaan
nikah siri dikatakan sah secara agama, tapi tidak sah menurut hukum positif
(hukum negara). Akan tetapi ada juga yang mengambil sebuah pemahaman bahwasanya
nikah siri adalah nikah tanpa wali pihak istri. Jika nikah siri tanpa wali
begini, maka hukumnya tidak sah baik secara agama maupun secara hukum negara.
Sah tidaknya nikah sirri secara agama banyak bergantung
kepada sejauhmana syarat-syarat nikah itu terpenuhi. Namun demikian, bila
dilihat dari kacamata hukum positif sebuah negara, maka pernikahan yang tidak
tercatatkan dipandang ebagai perkara ilegal, karena siapapun yang akan
m,elangsungkan aqad nikah harus dicatatkan di kantor urusan agama setempat
untuk menghindari hal-hl yng tidak diinginkan juga untuk menguatkan birokrasi
dalam sistem pencatatan yang banyak berhubungan langsung dengan masa depan
anak-anak mereka di kelak kemudian hari. Apalagi dewasa ini banyak pula muncul
adanya kasus pernikahan dengan berbagai alasan tertentu,tidak menghadirkan wali
dari calon mempelai wanita yang bersangkutan, termasuk didalamnya tidak
menghadirkan saksi yang menjadi salah satu rukun dalam proses berlangsungnya aqad nikah. Pernikahan seperti ini tentu saja bukan hanya
tidak sah menurut hukum negara akan tetapi dipandang tidak sah juga menurut
hukum agama. Dengan demikian pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan
ketentuan tersebut secara nyata akan lebih banyak berdampak pada terjadinya
kerugian daripada kemanfaatan yang semestinya diperoleh. Sementara itu pula
nikah sirri yang dipandang sah menurut kaidah agama ------bisa jadi dapat
menjauhkan dirinya dari perbuatan zina, akan tetapi jadi berdampak pada
kesulitan dirinya dalam memenuhi kebutuhan urusan di dunia, sehingga tujuan
dari bahtera kehidupan berumah tangga yang katanya ingin meraih unsur sakinah
menjadi tidak terpenuhi karenanya.
Lalu seperti apa status anak
terhadap pernikahan Siri tersebut? Jika kita lihat dasar hukum di atas tadi,
bahwa status anak dalam Siri ialah jelas dan tidak cacat terhadap hukum
tersebut. Dengan demikian anak yang dihasilkan dari hasil hubungan suami isteri
Siri tidak dapat dikenakan sanksi apapun. Hal ini sebagaimana termaktub dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan: “anak sah adalah:
(a)
anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
(b)
Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut. Namun perbedaan signifikan dalam pelaku nikah Siri terdapat dalam
akta tertulis-tidaknya di lembaga pemerintahan, Kemanag, dalam hal ini KUA.
Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status
anak dibedakan menjadi dua: pertama, anak sah. kedua, anak luar nikah. Anak sah
sebagaimana yang dinyatakan UU No. Tahun 1974 pasal 42: “adalah dalam anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.” Bila dicermati
secara analisis, sepertinya bunyi pasal tentang anak sah ini menimbulkan
kerancuan, anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah. Bila dinyatakan “anak yang lahir akibat perkwinan yang sah” tidak ada
masalah, namun “ anak yang lahir dalam masa perkawinan yang sah”ini akan
memimbulkan suatu kecurigaan bila pasal ini dihubungkan dengan pasal yang
membolehkan wanita hamil karenan zina, menikah dengan pria yang menghamilinya.
Perkawinan perempuan hamil karena zina dengan laki-laki yang menghamilinya
adalah perkawinan yang sah. Seandainya
beberapa bulan sesudah perkawinan yang sah itu berlansung, lahir anak yang
dikandungnya, tentu akan berarti anak yang lahir anak sah dari suami yang
mengawininya bila masa kelahiran telah enam bulan dari waktu pernikahan.Yang
dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar
pernikahan yang sah, sebagaimana yang dsebutkan dalam peraturan
perundang-undangan Nasional. Hal ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 1 Tahun
1974 Pasal 43 ayat 1;
Apa dampak
positif dan negatifnya nikah siri?
Mensikapi terjadinya pernikahan siri
yang berkembang ditengah-tengah masyarakat kita dewasa ini, ada dampak positif
dan negatif yang juga perlu dicermati secara seksama :
1. Dampak
positif
-
Meminimalisisr
bagi terjadinya sex bebas yang berdampak pada terjadinya berbagai penyakit
akibat penyimpangan seksual.
-
Mengurangi
beban atau tanggung jawab seorang wanita yang menjadi tulung punggung bagi
keluarganya
2. Dampak
Negatif
-
Kehidupan
perselingkuhan pada akhirnya dianggap sebagai persoalan yang wajar
-
Hilangnya
status hukum bagi seorang isteri dan
anak terkait dengan pelaksanaan hukum di Indonesia maupun dalam tatanan
kehidupan masyarakat.
-
Bagi
mereka yang berniat tidak baik terhadap institusi pernikahan, maka nikah siri
bisa dianggap sebagai jalan untuk dapat memuaskan kehendak nafsunya.
Kesimpulan
Ajaran Islam demikian indah memberikan sebuah
gambaran utuh dan menyeluruh bagaimana pernikahan dapat berlangsung menjadi
sumber ketenangan dan ketentraman, hadirnya rasa cinta dan kasih sayang , yang
pada gilirannya dapat menjadi bekal perjalanan setiap pasangan untuk mengarungi
pantai harapan yang dicita-citakan, yakni keluarga dan rumah tangga yang
seutuhnya dapat menjadi pembangun peradaban yang makin maju dan maslahat. Nikah
siri sekalipun dapat dipandang sah menurut kaidah agama karena sudah terpenuhi
rukun-rukun yang ada di dalamnya, akan tetapi dilihat dari kacamata hukum
positif ternyata tidak menjadi sebuah kemaslahatan karena akan menimbulkan
prasangka buruk dan kerugian secara lahir dan batin, terutama bagi seorang
isteri dan anak-anak yang dilahirkannya.Padahal kaidah ushul menyatakan adanya
pertimbangan maslahat wa al-mursalah terkait dengan sebuah pernikahan yang
semestinya diperhatikan secara seksama. Sayangnya hal ini tidak semuanya
dipahami oleh semua lapisan masyarakat di negeri. Hal itu juga banyak
dipengaruhi oleh adanya pemahaman agama yang di’amalkan secara kaku oleh
kalangan tertentu yang cenderung hanya melihat pernikahan dari aspek keabsahan
hukum agama tanpa melihat pertimbangan-pertimbangan lain yang akan memberi
manfaat secara keseluruhan dalam konteks yang berimbang. Kondisi-kondisi
seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu pekerjaan rumah bersama yang
semestinya segera dituntaskan ,agar tidak menimbulkan kerugian dikelak kemudian
hari. Bahwa gerbang pintu pernikahan adalah sarana yang dapat menghadirkan
ketenangan dan ketentraman, cinta dan kasih sayang tersebut ternyata di dalam
realitasnya juga perlu diseimbangkan dengan konteks kebutuhan hidup manusia di
dalam hubungannya dengan faktor sosial kemasyarakatan yang tidak akan pernah
lepas sepanjang manusia hidup di alam fana ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar